Sabtu, 06 Agustus 2011

lingkaran setan kemiskinan


Lingkaran Setan Kemiskinan dan Kepemimpinan

Kemiskinan terjadi karena akumulasi berbagai persoalan dan melibatkan banyak aspek. Bukan hanya semata-mata aspek ekonomi. Kemiskinan juga berkaitan dengan aspek sosial, politik, budaya, sumberdaya manusia (pendidikan) dan berbagai aspek lainnya. Yang terjadi di Indonesia adalah adanya Lingkaran Perangkap Kemiskinan (The Vicious Circle)/Lingkaran Setan, yakni terjadinya suatu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain secara sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan dimana sesuatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami banyak kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Lingkaran setan tersebut menyebabkan terkesan seolah-olah upaya pemberantasan kemiskinan merupakan hal yang sangat sulit, kait-mengkait antara berbagai aspek dan hanya berputar-putar saja.
Kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan pembangunan dimasa lalu tapi juga menimbulkan hambatan bagi pembangunan yang akan datang. Nurkse dalam Sukirno (1985 : 218) mengatakan bahwa terdapat dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan yang menghalangi negara-negara berkembang untuk mencapai tingkat pembangunan yang pesat : dari segi penawaran modal dan dari segi permintaan modal.
Dari segi penawaran modal, lingkaran setan kemiskinan dapat dinyatakan sebagai berikut :
 Produktifitas rendah menyebabkan pendapatan masyarakat rendah, pendapatan rendah menyebabkan kemampuan menabung rendah sehingga tingkat pembentukan modal rendah, pembentukan odal yang rendah menyebabkan produktifitas juga rendah. Dari segi permintaan modal, perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas karena pendapatan masyarakat yang rendah.
Hal tersebut diperparah lagi oleh adanya International demonstration Effect sebagai dampak dari persaingan dan hubungan internasional antar negara, yakni adanya kecenderungan untuk meniru pola konsumsi masyarakat yang sudah maju. Padahal negara-negara maju tersebut memiliki perbedaan yang signifikan dari sisi pendapatan dan kemampuan modal. Akibat pengeluaran masyarakat menjadi semakin besar dan mengurangi pembentukan modal bagi peningkatan kemampuan produksi nasional sehingga makin memperburuk lingkaran setan kemiskinan yang dihadapi negara.
Meier dan Baldin dalam Sukirno (1985 : 219) menyebutkan suatu lingkaran setan kemiskinan yang lain yang timbul dari hubungan saling mempengaruhi antara keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisonal dengan lingkungan alam yang belum dikelola dengan baik. Untuk mengelola potensi kekayaan alamnya, negara harus memiliki tenaga kerja yang ahli dalam memimpin dan melaksanakan berbagai kegiatan ekonomi.
Dinegara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kekayaan alam belum sepenuhnya dikelola dengan baik karena tingkat pendidikan rakyat masih rendah, kurang sumberdaya manusia yang berkualitas, dan terbatasnya mobilitas sumber-sumber daya lainnya. Kenyataan membuktikan bahwa makin kurang berkembang keadaan sosial ekonomi suatu negara, makin terbatas pengelolaan sumberdaya alamnya, sementara disisi lain karena pengelolaan sumberdaya alam yang terbatas maka menyebabkan pembangunan masyarakat juga menjadi rendah.
Penanganan masalah kemiskinan juga menjadi kian kompleks karena bangsa Indonesia juga menghadapi adanya persaingan dengan negara-negara lain di dunia. Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, harus dilakukan secara komprehensif oleh segenap masyarakat dengan tanpa mengutamakan kepentingan pribadi/golongan. Diperlukan persatuan dan kemauan (Goodwill) semua pihak. Tjokrowinoto (2001 :119) mengatakan, banyak faktor yang menentukan kinerja suatu negara dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, mewujudkan pemerataan, dan menanggulangi kemiskinan. Namun salah satu faktor yang paling berperan dalam menentukan kinerja ini adalah pilihan-pilihan kebijakan yang diambil (policy choice) dan strategi yang diterapkan.
Pada hakekatnya pilihan-pilihan kebijakan merentang diantara dua kutub, yaitu kebijakan ekonomi makro yang berorientasi pada pertumbuhan yang mewujudkan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan melalui efek tetes (Trickle Down Effect) disatu pihak dan kebijakan penanggulangan langsung (Direct Attack) terhadap masalah kemiskinan di pihak yang lain, baik melalui strategi karitas (Charity Strategy) maupun melalui strategi pemberdayaan dan pemampuan.
Kebijakan dan strategi tentu ditetapkan oleh pemimpin. Program kerja ataupun rencana tindak (Action Plan) sebaik apapun tidak akan berhasil bila tanpa dibarengi dengan komitmen kuat para pemimpin untuk memberantas kemiskinan. Tidak berlebihan mengatakan bahwa hal yang tidak kalah penting, bahkan bisa dibilang justru merupakan hal yang peling penting dalam upaya mengatasi kemiskinan adalah adanya pemimpin yang memiliki komitmen kuat untuk memberantas kemiskinan.
Menurut Wiranto, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), hanya bangsa-bangsa yang berhasil menetralisir masalah domestiknya yang akan eksis dalam persaingan internasional. Sebaliknya bangsa-bangsa yang terus terjebak pada persoalan dalam negerinya akan terus terpuruk dan kalah tidak mampu bangkit lagi. Bangsa Indonesia butuh pemimpin-pemimpin yang handal, yang kelas satu, bukan pemimpin yang coba-coba memimpin, bukan pula yang menjadi pemimpin melalui rekayasa kotor.
Yang kita perlukan adalah pemimpin yang demokratis, visioner dan memiliki ketegasan. Artinya kita perlu pemimpin yang bermoral, kualitas intelektual yang memadai, acceptable – yang berarti dipercaya publik, serta berpengalaman memimpin dengan bukti-bukti nyata.
Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di Indonesia menurut hemat saya, memang pertama sekali yang harus dilakukan adalah : Memilih Pemimpin Berkualitas.













Pengangguran Tambah, Kemiskinan di Kota Meningkat

Manokwari, hingga Maret 2011 jumlah penduduk miskin di Papua Barat mencapai 249.840 jiwa  atau mencapai 31,92 % dari total penduduk Papua Barat. Kepala BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Papua Barat, Ir Tanda Sirait,MM menyebutkan, sejak tahun 2009,jumlah penduduk miskin di provinsi ini mengalami penurunan.
Disebutkan, pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin sebanyak 256.840 jiwa (35,71 persen) turun menjadi 256.250 (34,88 persen) pata tahun 2010. Penurun jumlah penduduk miskin selama tahun 2010-2011 sebesar 2,50 persen.
Selama kurun waktu Maret 3002-Maret 201, persentase penduduk miskin di pedesaan menunjukkan penurunan. Tahun 2009, penduduk miskin pedesaan sebesar 248.290 jiwa (44,71 persen) atau turun 24.660 jiwa (43,48 persen) pada tahun 2010 dan menjadi 239.060 jiwa pada tahun 2011 (39,56 persen).
Sedangkan jumlah penduduk miskin di perkotaan  pada periode yang sama mengalami kenaikan. Tahun 2009,penduduk miskin perkotaan 8.550 jiwa (5,22 persen) dan naik menjadi 9.590 jiwa (5,73 persen) pada tahun 2010 dan naik lagi menjadi 10.70 jiwa (6,05 persen) pada tahun 2011. ‘’Meski jumlah penduduk miskin di perkotaan bertambah,namun persentase penduduk miskin pedesaan 6,5 kali lebih tinggi daripada pedesaan,’’ jelas Sirait.
Dikatakan,garis kemiskinan Provinsi Papua Barat tahun 2011 sebesar Rp 318.796 per kapita per bulan,terdiri dari  garis kemiskinan makanan sebesar Rp 254.759 dan garis kemiskinan non makanan sebesar Rp 64.036.
Dibanding tahun 2010,menurut Ka BPS, garis kemiskinan Provinsi Papua Barat tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 8,17 persen. Kenaikan garis kemiskinan di perkotaan yakni 7,58 persen tahun 2001 lebih rendah daripada kenaikan garis kemiskinan di pedesaan yakni 8,43 persen.
Sirait menyebutkan,kenaikan jumlah penduduk miskin di perkotaan diduga disebabkan oleh kenaikan tingkat pengangguran.


PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

  • Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia) pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.
  • Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,57 juta, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang.
  • Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada Bulan Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan.
  • Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Bulan Maret 2009, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 73,57 persen.
  • Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, mie instan, tahu dan tempe. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, biaya listrik, angkutan dan minyak tanah.
  • Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia, 1996-2008

Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2008 berfluktuasi dari tahun ke tahun (Tabel 1, Gambar 1, dan Gambar 2). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999.
Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama.
Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.
Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 2,11 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 2,09 juta orang.
Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin.
Terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan pada periode Maret 2007-Maret 2008, dari 37,17 juta (16,58 persen) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta (15,42 persen) pada tahun 2008.
Tabel 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 1996-2008
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Indonesia Menurut Daerah Tahun 1996-2008


Persentase Kemiskinan di Perkotaan dan Perdesaan Menurut Tahun

Gambar 2

2. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Maret 2008-Maret 2009

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.
Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,57 juta orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang (Tabel 2).
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada periode Maret 2008 – Maret 2009, perubahan persentase penduduk miskin di perkotaan sebesar 0,93 persen, dan di perdesaan mencapai 0,58 persen.
Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode Maret 2008-Maret 2009 nampaknya berkaitan dengan faktor-faktor berikut:
  1. Selama periode Maret 2008-Maret 2009 inflasi umum relatif stabil (Maret 2008 terhadap Maret 2009 sebesar 7,92 persen)
  2. Rata-rata harga beras nasional (yang merupakan komoditi paling penting bagi penduduk miskin) selama periode Maret 2008-Maret 2009 pertumbuhannya lebih rendah (7,80 persen) dari laju inflasi.
  3. Rata-rata upah riil harian buruh tani (70 persen penduduk miskin perdesaan bekerja di sektor pertanian) naik 13,22 persen dan rata-rata upah riil buruh bangunan harian naik sebesar 10,61 persen selama periode Maret 2008-Maret 2009.
  4. Selama Subround I (Januari-April) 2009 terjadi panen raya. Produksi padi Subround I 2009 mencapai 29,49 juta ton GKG (hasil Angka Ramalan II 2009), naik sekitar 4,87 persen dari produksi padi Subround I 2008 yang sebesar 28,12 juta ton GKG.
  5. Pada umumnya penduduk miskin bekerja di subsektor pertanian tanaman pangan dan perikanan (nelayan). NTP di kedua subsektor tersebut selama periode April 2008-Maret 2009 mengalami kenaikan yaitu naik sebesar 0,88 persen untuk subsektor tanaman pangan dan naik sebesar 5,27 persen untuk subsektor perikanan (nelayan). Di subsektor tanaman pangan indeks harga jual petani (It) naik sebesar 10,95 persen, sementara indeks harga beli petani (Ib) naik 9,98 persen. Di subsektor perikanan indeks jual petani (It) naik sebesar 15,47 persen sementara indeks beli petani (Ib) hanya naik sebesar 9,70 persen.
  6. Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga triwulan I tahun 2009 (angka sangat­sangat sementara) meningkat sebesar 5,84 persen terhadap triwulan I tahun 2008 (angkasangat sementara).
Tabel 2

3. Perubahan Garis Kemiskinan Maret 2008-Maret 2009

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Selama Maret 2008-Maret 2009, Garis Kemiskinan naik sebesar 9,65 persen, yaitu dari Rp182.636,- per kapita per bulan pada Maret 2008 menjadi Rp200.262,- per kapita per bulan pada Maret 2009. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Bulan Maret 2008, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 74,07 persen, tetapi pada Bulan Maret 2009, peranannya hanya turun sedikit menjadi 73,57 persen.
Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada Bulan Maret 2008, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 28,06 persen di perdesaan dan 38,97 persen di perkotaan. Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain yang berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (3,10 persen di perkotaan; 4,18 persen di perdesaan), telur (3,38 persen di perkotaan; 2,43 persen di perdesaan), mie instan (3,39 persen di perkotaan; 2,82 persen di perdesaan), tempe (2,56 persen di perkotaan; 2,14 persen di perdesaan), dan tahu (2,27 persen di perkotaan; 1,65 persen di perdesaan).
Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap Garis Kemiskinan yaitu 5,28 persen di perdesaan dan 7,38 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik, angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 3,07 persen, 2,72 persen dan 2,65 persen, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).
Pola yang serupa juga terlihat pada Bulan Maret 2009. Pengeluaran untuk beras masih memberi sumbangan terbesar terhadap Garis Kemiskinan, yaitu 25,06 persen di perkotaan dan 34,67 persen di perdesaan. Beberapa barang-barang kebutuhan pokok lainnya masih berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan, seperti gula pasir (2,83 persen di perkotaan; 3,72 di perdesaan), telur (3,61 persen di perkotaan; 2,68 di perdesaan), mie instan (3,21 persen di perkotaan; 2,70 di perdesaan), tempe (2,47 di perkotaan; 2,09 di perdesaan), dan tahu (2,24 persen di perkotaan; 1,60 persen di perdesaan).
Sumbangan komoditi bukan makanan di perdesaan lebih kecil dibanding di perkotaan. Sumbangan komoditi bukan makanan terhadap Garis Kemiskinan terbesar adalah pengeluaran untuk rumah, yaitu 7,58 persen di perkotaan dan 5,73 persen di perdesaan. Pengeluaran listrik di perkotaan memberi sumbangan lebih besar kepada Garis Kemiskinan yang mencapai 3,08 persen, sedangkan perdesaan hanya 1,81 persen. Sumbangan komoditi lain terhadap Garis Kemiskinan adalah angkutan 2,85 persen di perkotaan dan 1,34 persen di perdesaan, dan minyak tanah menyumbang sebesar 1,73 persen di perkotaan dan 0,70 persen di perdesaan.

4. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 2,77 pada keadaan Maret 2008 menjadi 2,50 pada keadaan Maret 2009. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,76 menjadi 0,68 pada periode yang sama (Tabel 3). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

Tabel 3

Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan jauh lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan Maret 2009, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,91 sementara di daerah perdesaan mencapai 3,05. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,52 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,82. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dari pada di daerah perkotaan.

5. Penjelasan Teknis dan Sumber Data

  1. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
  2. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata­rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
  3. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
  4. Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
  5. Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2009 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Panel Modul Konsumsi bulan Maret 2009. Jumlah sampel sebesar 68.000 RT dimaksudkan supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.

Tabel 4




Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila jumlah balas jasa riil terhadap penggunaan faktor-faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada tahun sebelumnya.

Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia dikategorikan berupa jumlah penduduk yang besar dan sumber daya alam yang melimpah.Namun dalam beberapa tahun terakhir sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berasal dari biaya modal yang semakin murah. Sumber pertumbuhan yang lain berupa reformasi kebijakan yang pada akhirnya akan lebih memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk berkembang lebih baik. Terlebih lagi dengan tetap positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa krisis global ini, perhatian dari berbagai investor di seluruh dunia tertuju kepada Indonesia.

Optimisme terhadap perekonomian Indonesia sudah berkembang secara luas di luar negeri. Rasanya kita pantas berharap bahwa optimisme yang sama juga akan semakin berkembang di negara kita sehingga pada ujungnya kesejahteraan masyarakat dapat terus berkembang.










Sistem Ekonomi Indonesia
            Sistem ekonomi yang dianut oleh setiap bangsa berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan falsafah dan ideologi dari masing-masing negara. Seperti halnya Indonesia, sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia akan berbeda dengan sistem ekonomi yang dianut oleh Amerika Serikat ataupun negara-negara lainnya. Pada awalnya Indonesia menganut sistem ekonomi liberal, di mana seluruh kegiatan ekonomi diserahkan kepada masyarakat. Akan tetapi karena ada pengaruh komunisme yang disebarkan oleh Partai Komunis Indonesia, maka sistem ekonomi di Indonesia berubah dari sistem ekonomi liberal menjadi sistem ekonomi sosialis.            Pada masa Orde Baru, sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia diubah kembali menjadi sistem demokrasi ekonomi. Sistem ini bertahan hingga masa Reformasi. Setelah masa Reformasi, pemerintah melaksanakan sistem ekonomi yang berlandaskan ekonomi kerakyatan. Sistem inilah yang masih berlaku di Indonesia. Berikut ini bentuk sistem ekonomi di Indonesia dari masa Orde Baru hingga sekarang.

Kondisi Ekonomi Indonesia
          Kondisi ekonomi dalam satu negara dapat berubah dalam setiap waktu. Krisis ekonomi sudah mengubah kondisi perekonomian Indonesia. Sebelum adanya krisis keuangan 1997 perekonomian memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat setiap tahunnya, karena kita memasukkan utang luar negeri dalam jumlah yang cukup. Tetapi setelah krisis keuangan itu terjadi utang luar negeri Indonesia meningkat sampai US$ 25125 paada tahun 1998. Kondisi ini membuat Indonesia jatuh ke dalam perangkap utang dan bunga utang yang sangat tinggi.
          Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiyaan rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yag telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di Indonesia.             Pada masa krisis, utang luar negeri Indonesia termasuk didalamnya utang pemerintah dan swasta telah meningkat drastis dalam hitungan rupiah. Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar urtang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melauli APBN RI untuk utang pemerintah dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya wajib pajak Indonesia.             Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah krisis memiliki R-squared sebesar 0.79485 atau 0.79, artinya bahwa variabel independen ( utang lua negeri) dapat menjelaskan variabel terikat (pertumbuhan ekonomi) sebesar 0.79%, sedangkan 21% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat pada model. T-statistik untuk utang luar negeri lebih besar dari pada t-tabelnya ( 4.95 > 2.89), artinya bahwa variabel utang luar negeri memilki pengaruh nyata dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada α=1%. T-statistik untuk variabel dummy lebih besar daripada t-tabelnya (5.100>2.89), yang artinya variabel krisis ekonomi (dummy) memiliki pengaruh dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada α=1%.
          Berdasarkan pada analisis Granger Causality, kedua variabel memiliki hubungan satu sama lain (timbal balik). Sedangkan berdasarkan anailsis Kointegration test, kedua variabel yaitu utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan stasioner pada pembedaan kedua I (2), artinya ada hubungan jangka panjang antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi.
          Kondisi ekonomi dalam negeri pada tahun 2009 hingga 2010 merupakan kondisi yang cukup kritis. Pasalnya, perlambatan ekonomi global saat ini baru akan terasa dalam dua atau tiga kuartal mendatang.
          Hal-hal yang telah dijelaskan merupakan suatu rangkaian bahwa Indonesia sebagai negara yang menuju kestabilan ekonomi yang baik di dalam negeri maupun di luar negeri . Yang perlu kita ketahui seberapa jauhkah perkembangan perekonomian Indonesia di Dunia?

Peran Dan Posisi Ekonomi Indonesia Di Dunia
          Keinginan ASEAN berperan dalam perundingan G-20 sebagaimana yang telah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Thailand pekan lalu merupakan salah satu langkah maju dalam proses integrasi ekonomi ASEAN. Terbukanya akses dan peluang kerja sama dengan 20 negara ekonomi terbesar di dunia itu menunjukkan semakin diakuinya peran regional ASEAN dalam penentuan kebijakan ekonomi global. Dalam proses ini, Indonesia memainkan peranan penting karena merupakan satu-satunya negara ASEAN di G-20 dan memiliki posisi strategis sebagai ”penyambung” kepentingan ASEAN dan G-20.
          Tidak dapat dimungkiri bahwa keuntungan ekonomi yang ditawarkan G-20 jauh lebih besar daripada yang ditawarkan ASEAN. Jika dibandingkan dengan G-20 yang mencakup 80% total perdagangan dunia dan memiliki 67% penduduk dunia, ASEAN bisa dikatakan hanya merupakan ”anak bawang” dalam ekonomi dunia. Jika harus memilih, rasanya, seluruh negara ASEAN pun akan memilih mencari akses masuk ke organisasi ini kendati harus ”sedikit” mengorbankan kepentingan bersama ASEAN. ASEAN sendiri sejak pertama membentuk integrasi ekonomi terbukti belum mampu meningkatkan peran ekonomi mereka secara signifikan di kancah internasional dan bahkan justru memiliki kecenderungan mengedepankan kepentingan masing-masing negara secara individu dan bukan secara kolektif. 
          Dengan posisi yang sedemikian penting dalam penentuan arah kebijakan integrasi ekonomi ASEAN, sudah seharusnya Indonesia lebih berhati-hati dalam bertindak. Dengan posisi tawar (bargaining power) yang bagus di ASEAN, Indonesia seharusnya dapat menjadi pelopor dan penggerak utama untuk penguatan kerja sama ekonomi ASEAN. ASEAN sendiri memiliki peran politik, keamanan, dan budaya yang sangat penting bagi Indonesia sehingga sangat disayangkan jika kerja sama ekonomi yang menjadi salah satu landasan.           Pembentukan masyarakat ASEAN (ASEAN Community) tidak berjalan secara maksimal. Indonesia saat ini ibarat “berada di dua tempat sekaligus” sehingga memungkinkan bagi kita untuk mengatur dan mengontrol dengan tepat posisi serta pergerakan ASEAN dalam skema kerja sama ASEAN-G20. Dengan keuntungan ini, seharusnya Indonesia bisa mengambil inisiatif utama untuk perubahan dan perbaikan mekanisme kerja AFTA saat ini. 



Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia      
   
Di era globalisasi saat ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknoligi semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan dari pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika negara tersebut mengalami kenaikan dalam standar pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, sangat diperlukan untuk dapat mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia diantaranya yaitu: pembangunan nasional, sumber daya alam, sumber daya manusia, pendidikan, nilai ekspor dan import.
          Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia untuk menciptakan masyarakat indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Pada dasarnya pembangunan nasional lebih di utamakan pada suatu pembangunan dibidang ekonomi sedangkan pembangunan dibidang lainnya hanya bersifat menunjang.
          Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan keberhasilan suatu pembangunan ekonomi negara. Jadi, Pembangunan ekonomi tak luput dari pertumbuhan ekonomi, karena pembangunan ekonomi dapat mendorong suatu pertumbuhan ekonomi, dan begitu juga sebaliknya, pertumbuhan ekonomi dapat memperlancar suatu proses terjadinya pembangunan ekonomi di suatu negara.  
Ø  Faktor Budaya
       Indonesia memiliki bermacam-macam keaneka ragaman budaya. Dari budaya yang kita miliki, kita dapat menarik wisatawan untuk datang kenegeri kita. Hal ini dapat meningkatkan pendapatan ekonomi Negara, karena semakin banyak wisatawan yang datang ke negeri kita, maka semakin tinggi pula devisit atau pendapatan Negara. Maka dari itu kita harus melestarikan budaya yang kita miliki, agar tidak di akui oleh Negara lain dan agar Negara lain tahu, betapa indahnya budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.  
 Ø  Faktor Sumber Daya Alam Dan Sumber Daya Manusia
      Kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sangat melimpah. Dari hasil kekeyaan alam yang bangsa Indonesia miliki, kita dapat mengolahnya dari barang mentah menjadi barang jadi. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki contohnya tanah yang subur, iklim atau cuaca yang sangat baik untuk berkebun, hasil pertambangan, hasil hutan, dan hasil lautnya. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan industri di suatu Negara.
          Sumber daya manusia juga dapat menentukan keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu Negara, jika sumber daya manusianya berkualitas. Karena manusia yang berkualitas dapat menunjang pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Pendidikan dalam hal ini sangat diperlukan, agar sumber daya manusia yang dihasilkan berkualitas, dan mampu bersaing dengan Negara lain. Apabila hal ini terlaksana, maka pertumbuhan ekonomi dinegara kita akan semakin meningkat. Ekspor dan impor juga dapat memprgaruhi pertumbuhan ekonomi Negara. kita harus meningkatkan lagi nilai ekspor ke Negara-negara berkembang dengan meningkatkan kualitas barang yang akan diproduksi.
Hal terpenting agar terciptanya pertumbuhan ekonomi Negara adalah penduduk atau masyarakat yang ada dalam Negara tersebut. Karena jika masyarakat lebih banyak mencintai akan hasil bumi sendiri, otomatis pendapatan Negara akan semakin meningkat. Hal ini tergantung dari kualitas manusianya. Maka dari itu dari sekarang kita ciptakan masyarakat Indonesia yang berkualitas, agar mampu berdaya saing dengan negara lain dan masyarakat Indonesia harus mencitai pruduk dalam negeri, karena bangsa yang berkualitas adalah bangsa yang penduduknya mencintai produk dalam negeri.












Pembangunan ekonomi

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional[1]. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.

Faktor

Ada beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.
Faktor ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.
Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat memengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi).
Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.
Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.
Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku.